Gerobak Sapi Melintasi Jaman Dalam Festival Gerobak sapi

Dasar penyelenggaraan Festival Gerobak Sapi (FGS) pelestarian budaya unik. Walaupun jarang terlihat di perkotaan, keberadaan gerobak sapi di kawasan pedesaan begitu eksis. Kendaraan tradisional yang digerakkan oleh sapi tersebut tak lekang oleh waktu, meski zaman berubah dan kehidupan pun semakin modern. Bila di manca negara kita mengenal rikshaw di cina dan jepang atau kereta kuda di eropa yang saat ini telah menjadi ikon budaya dan wisata demikian pula hematnya perkembangan gerobak sapi di Yogyakarta. Gerobak sapi dapat menjadi asset yang sama bernilainya dengan becak dan andong yang menjadi ikon budaya Yogyakarta.


Acara ini dibuka oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Bupati Sleman serta dihadiri ribuan penonton. Tahun ini Festival Gerobak sapi kembali di gelar dengan lebih meriah. Diselenggarakan di Lapangan Utara Stadion Maguwoharjo, Sleman pada tanggal 22-24 Agustus 2014.
Selain aneka lomba gerobak sapi penonton dan masyarakat di seluruh Indonesia dapat menikmati kemeriahannya melalui lomba-lomba yang dilakukan secara online. Video bisa di lihat di sini


Bila dahulu gerobak sapi lebih fokus digunakan sebagai sarana transportasi atau kendaraan pengangkut hasil bumi, saat ini gerobak sapi berkembang sebagai suatu ikon kendaraan yang mengandung nilai budaya dan memberikan sensasi nostalgia yang unik dan bernilai lebih.
Sebagai contoh saat ini banyak yang menggunakan gerobak sapi untuk keperluan khusus seperti berkeliling desa sepulang menunaikan ibadah haji, pawai dalam kegiatan desa, sekolah atau pariwisata, dan tak jarang juga turis asing menyewa gerobak untuk berkeliling candi-candi di seputar prambanan.


Keunikan potensi gerobak sapi inilah yang mengispirasi Karang Taruna Malangrejo, Wedomartani, Sleman dan Bajingers Community didukung oleh Pemkab Sleman untuk menghelat Festival Gerobak Sapi (FGS) 2013 di Lapangan Utara Stadion Maguwoharjo pada 16 Juni 2013.
FGS berkomitmen untuk melestarikan gerobak sapi sebagai angkutan tradisional yang mengandung nilai budaya, di samping itu juga mengenang “jasa” kusir gerobak sapi yang telah berjasa membantu para gerilyawan saat perang kemerdekaan Republik Indonesia.

Masyarakat tumpah ruah di areal yang menjadi lokasi festival. Dalam festival yang kali ini memasuki tahun kedua digelar sejumlah lomba yakni modifikasi (kustom), drag race gerobak sapi serta aneka lomba yang melibatkan penoton seperti lomba foto selfi, fotografi, serta loma karya tulis.


Klemon dan Tuwuh Bukhori yang menjadi MC acara ini mengatakan acara kali ini merupakan pesta para bajingan. Namun, agar tidak salah mengerti Klemon langsung menjelaskan makna ‘bajingan’ yang diutarakan. Kata bajingan, kata Klemon, mengandung arti sopir atau sais gerobak sapi.


Namun kini konotasi yang berkembang, lanjut Klemon, mengarah pada pemahaman yang negatif dan kasar. “Jadi saya mohon maaf kalau ada yang kurang nyaman. Tetapi memang kata bajingan tidak perlu diartikan yang lain dalam event ini. Kita bahkan harus berterima kasih karena para bajingan karena  telah ikut menjaga budaya kita,” ujar Klemon.

Dan Sri Sultan juga beberapa kali ketika membuka acara ini mengeluarkan kata ‘bajingan’ yang mengacu kepada para pengemudi gerobak sapi. Dan dua ratus para bajingan terlihat antusias dan penuh gembira mengikuti kegiatan ini.
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

Terima Kasih