Sejarah Pura Batukaru di Tabanan Bali - PURA Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh -- sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan. Tuhan sebagai sumber yang mempertemukan air dengan tanah sehingga muncullah kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh subur dengan daunnya yang hijau mengandung klorofil sebagai zat yang menyelamatkan hidup. Pemujaan Tuhan di Pura Luhur Batukaru hendaknya dijadikan media untuk membangun daya spiritual membangun semangat hidup untuk secara sungguh-sungguh menjaga kesuburan tanah dan sumber-sumber air.
Sejarah Pura Batukaru di Tabanan Bali
Sejarah Pura Batukaru di Tabanan Bali |
Dengan tanah yang terjaga kesuburannya dan sumber-sumber air terlindungi, maka tumbuh-tumbuhan akan subur. Tumbuh-tumbuhan yang subur akan berlanjut terus apabila udara tidak tercemar oleh emisi CO2. Udara yang tercemar akan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak pucuk tumbuhan-tumbuhan. Jadi pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memiliki makna yang dalam bagi kehidupan umat manusia di bumi ini. Adanya konferensi tentang merubahan cuaca yang diikuti oleh 187 negara di Nusa Dua patut dijadikan momentum untuk mengingatkan diri kita tentang nilai yang terkandung di balik Pemujaan Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru.
Sejarah singkat Pura Batukaru di Tabanan Bali
Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru. Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Bagi mereka yang ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru sangat diharapkan terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu ini memang letaknya agak jauh dari Pura Luhur Batukaru.
Tujuan persembahyangan di Pura Jero Taksu itu adalah sebagai permakluman agar sembahyang di Pura Luhur Batukaru mendapatkan keberhasilan. Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah menuju pancuran yang letaknya di bagian tenggara dari pura utama namun tetap berada dalam areal Pura Luhur Batukaru.
Air pancuran ini adalah untuk menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci muka dan cuci kaki di pancuran tersebut terus dilanjutkan sembahyang di Pelinggih Pura Pancuran tersebut sebagai tanda penyucian sakala dan niskala atau lahir batin sebagai syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan kesucian jasmani dan rohani.
Pura Luhur Batukaru ini juga termasuk Pura Sad Kahyangan yang disebut dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi. Sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Guwa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat. Sebagai penggagas berdirinya Sad Kahyangan adalah Mpu Kuturan.
Banyak pandangan para ahli bahwa Mpu Kuturan mendirikan Sad Kahyangan Jagat untuk memotivasi umat menjaga keseimbangan eksistensi Sad Kerti yaitu Atma Kerti, Samudra Kerti, Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti.
Pura Luhur Batukaru kemungkinan sebelumnya sudah dijadikan tempat pemujaan dan tempat bertapa sebagai media Atma Kerti oleh tokoh-tokoh spiritual di daerah Tabanan dan Bali pada umumnya. Pandangan tersebut didasarkan pada adanya penemuan sumber-sumber air dan dengan berbagai jenis arca Pancuran. Dari adanya sumber-sumber mata air ini dapat disimpulkan bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk bertapa bagi para Wanaprastin untuk menguatkan hidupnya menjaga Sad Kerti tersebut.
Setelah pendirian Pura Luhur Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan dengan jelas bagaimana keberadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan dari kitab Babad Buleleng. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada tahun tersebut di atas dirusak oleh Raja Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.
Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman tidak ada lagi musuh yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas kerajaan lalu mengadakan perluasan ke Tabanan. Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam perjalanan bertemu dengan daerah Batukaru yang merupakan daerah Kerajaan Tabanan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti bersama prajuritnya lalu merusak Pura Luhur Batukaru. Pura tersebut diobrak-abriknya.
Di luar perhitungan Ki Panji Sakti tiba-tiba datang tawon banyak sekali galak menyengat entah dari mana asalnya. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang galak dan berbisa itu. Ki Panji Sakti lari terbirit-birit dan mundur teratur dan membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Tabanan. Karena pura tersebut dirusak oleh Ki Panji Sakti maka bangunan pelinggih rusak total. Tinggal onggokan berupa puing-puing saja.
Baru pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti sekarang ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dari pemerintah daerah berupa bantuan. Sampai sekarang Pura Luhur Batukaru sudah semakin baik keadaannya.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »